KOTA BEKASI, DemokrasiNews.com - Rencana pembangunan Waste To Energy (WtE)yang di gagas Presiden Jokowi yang disampaikan kepada publik melalui berbagai media, harus bercermin kepada Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) Bantar Gebang yang bertahan hampir 7 tahun dikelola oleh PT.Godang Tua Jaya (PT.GTJ) jo PT.Navigate Energi Organik Indonesia (PT.NEOI). PLTSa yang masih bertahan hingga kini.
Sehingga dapat dikatakan sebagai model aplikasi PLTSa di Indonesia, dan diharapkan akan berkembang menjadi lebih besar dan mapan dengan dukungan penuh dari Pemerintah Pusat. Dan gagasan Presiden Jokowi yang baik tersebut jangan hanya dilihat demi sekedar proyek, berdimensi pragmatise, jangka pendek dan tidak luas harus di pikirkan matang-matang.
Memang dari sebagian persoalan terkait sampah Nasional, kebijakan WtE dipandang merupakan sebagai solusinya. Sehingga dalam kebijakan (policy) tersebut harus jelas permasalahan dan hambatan serta penyelesaiannya secara komprehensif. Acara digelar belum lama ini di Lokasi pembuatan Kompos komplek Tempat Pembuangan Sampah Akhir Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi – Jabar.
Hadir selaku pembicara Anggota Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) RI Komisi 9 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Andrian Napitapulu yang mengatakan akan selalu mendukung Implementasi Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 20112 tentang pedoman pelaksanaan 3R, Reduce, Reuse dan Recycle melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), yang merupakan salah satu target program prioritas Presiden Jokowi. Program WtE tersebut tersosialisasi dengan baik dalam kunjungan kerja Anggota DPR-RI ke Bantar Gebang.
"Guna memenuhi prinsip Reduce, Reuse dan Recycle (3R) sesuai UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan PP Nomor 81 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga, maka penyelesaian permasalahan sampah harus mengedepankan pendekatan partisipatif melalui multi-teknologi ramah lingkungan," ungkap Andrian. Aspeknya pun diterapkan secara komplementer dan konsisten. Yaitu regulasi, anggaran dan teknologi, kelembagaan serta partisipasi masyarakat harus dikedepankan.
Pandangan diatas merupakan kesimpulan dalam diskusi terbatas di Bantar gebang dan Cibubur pada, 5 hingga 9 Februari 2016 yang diselenggarakan oleh Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, diikuti Environment Community Union (ECU), Bio Tani dan Bahari Indonesia, Pesticide Action Network Indonesia, gerakan Zero Population Growth (ZPG) Indonesia, Koalisi pemantau Limbah B3 Indonesia, Yayasan Sahabat Persada Alam (SPA), LSM RI 1, Para pakar dan aktivis lingkungan.
Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) berpendapat, bahwa rencana Presiden yang menunjuk 7 (tujuh) Kota/Daerah sebagai percontohan WtE berpotensi gagal. Rencana yang digagasnya untuk pembangunan WtE tersebut diluar konteks incinerator (mesin pembakar sampah secara massal) yang ditentang masyarakat dan lembaga aktivis lingkungan hidup.
Dalam hal ini Presiden harus berhati-hati, waspada dan harus memerlukan banyak informasi dan data empiris dan pengalaman orang dilapangan sebelum membuat keputusan dan kebijakan. Prof. Brian W Hogwood dan Prof. Lewis A Gun ( Policy Analysis for the Read Word, 1986) bahwa kegagalan kebijakan dalam dua kategori, yakni non-implementation dan unsuccessful implementation. Jadi kebijakan memiliki resiko kegagalan.
Maka berbagai persoalan dalam konteks WtE tersebut harus mendapatkan perhatian serius dan khusus Pemerintah, supaya kebijakan yang disusun dan diimplementasikan applicable, berdampak sangat signifikan dan bernasib baik. (A. Zarkasih)
Sehingga dapat dikatakan sebagai model aplikasi PLTSa di Indonesia, dan diharapkan akan berkembang menjadi lebih besar dan mapan dengan dukungan penuh dari Pemerintah Pusat. Dan gagasan Presiden Jokowi yang baik tersebut jangan hanya dilihat demi sekedar proyek, berdimensi pragmatise, jangka pendek dan tidak luas harus di pikirkan matang-matang.
Memang dari sebagian persoalan terkait sampah Nasional, kebijakan WtE dipandang merupakan sebagai solusinya. Sehingga dalam kebijakan (policy) tersebut harus jelas permasalahan dan hambatan serta penyelesaiannya secara komprehensif. Acara digelar belum lama ini di Lokasi pembuatan Kompos komplek Tempat Pembuangan Sampah Akhir Terpadu (TPST) Bantar Gebang, Kota Bekasi – Jabar.
Hadir selaku pembicara Anggota Dewan Pertimbangan Rakyat (DPR) RI Komisi 9 dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Andrian Napitapulu yang mengatakan akan selalu mendukung Implementasi Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 20112 tentang pedoman pelaksanaan 3R, Reduce, Reuse dan Recycle melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa), yang merupakan salah satu target program prioritas Presiden Jokowi. Program WtE tersebut tersosialisasi dengan baik dalam kunjungan kerja Anggota DPR-RI ke Bantar Gebang.
"Guna memenuhi prinsip Reduce, Reuse dan Recycle (3R) sesuai UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan PP Nomor 81 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga, maka penyelesaian permasalahan sampah harus mengedepankan pendekatan partisipatif melalui multi-teknologi ramah lingkungan," ungkap Andrian. Aspeknya pun diterapkan secara komplementer dan konsisten. Yaitu regulasi, anggaran dan teknologi, kelembagaan serta partisipasi masyarakat harus dikedepankan.
Pandangan diatas merupakan kesimpulan dalam diskusi terbatas di Bantar gebang dan Cibubur pada, 5 hingga 9 Februari 2016 yang diselenggarakan oleh Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) bersama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jakarta, diikuti Environment Community Union (ECU), Bio Tani dan Bahari Indonesia, Pesticide Action Network Indonesia, gerakan Zero Population Growth (ZPG) Indonesia, Koalisi pemantau Limbah B3 Indonesia, Yayasan Sahabat Persada Alam (SPA), LSM RI 1, Para pakar dan aktivis lingkungan.
Koalisi Persampahan Nasional (KPNas) berpendapat, bahwa rencana Presiden yang menunjuk 7 (tujuh) Kota/Daerah sebagai percontohan WtE berpotensi gagal. Rencana yang digagasnya untuk pembangunan WtE tersebut diluar konteks incinerator (mesin pembakar sampah secara massal) yang ditentang masyarakat dan lembaga aktivis lingkungan hidup.
Dalam hal ini Presiden harus berhati-hati, waspada dan harus memerlukan banyak informasi dan data empiris dan pengalaman orang dilapangan sebelum membuat keputusan dan kebijakan. Prof. Brian W Hogwood dan Prof. Lewis A Gun ( Policy Analysis for the Read Word, 1986) bahwa kegagalan kebijakan dalam dua kategori, yakni non-implementation dan unsuccessful implementation. Jadi kebijakan memiliki resiko kegagalan.
Maka berbagai persoalan dalam konteks WtE tersebut harus mendapatkan perhatian serius dan khusus Pemerintah, supaya kebijakan yang disusun dan diimplementasikan applicable, berdampak sangat signifikan dan bernasib baik. (A. Zarkasih)
0 komentar:
Posting Komentar